buka hatimu

Pages

Sabtu, 01 Juni 2013

Mau aku kasih judul apa coba??

Mungkin orang akan menyebutnya pecundang setelah membaca kisah ini, atau mungkin pembaca sendiri yang merasa dipecundangi atau jadi pecundangnya. kisah ini sungguh keren. Kerennya lagi kalau kisah ini pernah di alami sendiri, maka aku pun akan menyebutmu " Dasar pecundang!" pizz.. :)

Yukk.., baca kisahnya rugi kalau ngga baca.
Kisah ini adalah kisah yang ditulis oleh seorang penulis terkenal, yang jelas bukan saya loh orangnya. Tapi jika pernah sudah membaca cerita ini pasti tahulah siapa penulisnya. Kalau yang ngga tahu pasti kebangetan.

Ok, dimulai..

Lantai sebelas sepi. Nyaris semua penghuninya keluar makan siang. Hanya ada dua-tiga orang saja yang masih berkutat di depan komputer masing-masing. dan salah dua diantaranya gadis dan pemuda yang tengah duduk jauh bersebrangan. Terpisah oleh meja-meja dan pratisi setinggi pundak, juga dispenser dan printer sentra fungsi di tengah-tengah ruangan.

Tetapi entah siapa yang menyusun berbagai halangan tersebut, disengaja atau tidak, mereka berdua tetap masih bisa saling melihat dari sela-sela berbagai barang. Untuk ukuran sejauh itu tidak jelas benar memang paras muka masing-masing, tapi kalian masih bisa dengan mudah memahami gerak tubuh di sebrang.

Seperti yang sedang terjadi saat ini. Gadis itu melirik berkali-kali ke depan. Ia sedang menunggu. Menunggu pemuda itu beranjak berdiri, kemudian turun untuk makan siang. Resah sekali ia. Seperti kemarin, hari gadis itu ingin berpura-pura tidak segaja berbarengan turun dengannya. Sedikit saling menyapa di lift, lantas sedikit basa-basi sebelum berpisah menuju tempat makan "favorit" masing-masing. Tetapi nampaknya pemuda itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengakhiri pekerjaannya.

Detik demi detik waktu berjalan terasa amat lambat. Istirahat siang tingga dua puluh menit lagi. " Ayolah lakukan saja," bujuk separuh jantungnya. " Bodoh! kau hanya kan mempermalukan dirimu saja!" Separuh jantungnya lagi menyela dengan sinisnya.

Dan setelah sekian menit lagi berkutat dengan ruangannya, akhirnya gadis itu nekad memberanikan diri menghampiri, toh ia bisa berpura-pura menuju toilet yang memang harus melewati pemuda itu jika rencananya terpaksa berubah. Sedikit gugup, seperti hari-hari yang lalu, melangkahkan kakinya mendekat.

" Ngga makan siang, Den?" Gadis itu mencoba menegur senormal mungkin. Tersenyum selepas mungkin.
Pemuda itu mengangkat kepalanya, balas tersenyum menggeleng.
" Masih banyak kerjaan, kamu sendiri ngga makan?"
" Malas, ngga ada temen yang turun!" Gadis itu tersenyum mengangkat bahu, menanti harap-harap cemas pemuda itu. Si pemuda ternyata hanya balas mengangkat bahu,
" Mungkin kamu bisa bareng, Sinta. Kayaknya dia juga belum makan!"
Begitulah.
Gadis itu kian detik kecewa. Sia-sia sudah. Tak ada lagi yang bisa dilakukan selain beranjak lemah menuju pintu keluar. " Seharusnya, dia bilang, `Ah, kebetulan sekali, aku juga belum makan. Mau kutemani?` Dasar bodoh!" Umpatnya dalam hati.
Atau karena ia kurang jelas menyampaikan maksudnya? Harusnya ia bilang saja langsung, " Kamu mau menemaniku?" Seperti yang sering dilakukan Susi saat menggoda menejer lantai sepuluh.

Tetapi itu tidak mungkin dilakukannya, kan? Ia bukan tipe Susi yang agresif " Seharusnya si bodoh itu cukup mengerti," Umpatnya sekali lagi.

*****
Berkali-kali ia melirik gadis di sebrangnya. Menunggu tak sabaran. "Kapan ia kan turun makan siang?" serunya dalam diam. Apakah ia yang harus melangkah mendekatinya, lantas mengajaknya makan siang bersama, seperti yang selalu diangan-angankannya? Tidak. Ia tidak pernah punya keberanian untuk melakukannya.
Kegelisahan pemuda itu kian memuncak. Waktu istirahat siang tinggal tiga puluh menit lagi. " Ayolah berdiri," memohonnya dalam-dalam. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya.
Dan akhirnya wanita itu berdiri juga dari tempat duduknya. " Ya Tuhan, semoga ia melewatiku. Please GoD!" si pemuda bersorak penuh harap. Tentu saja gadis itu melewatinya karena pintu keluar terletak pada mejanya.

Suara gadis itu terdengar memenuhi gendang telinganya. Si pemuda dengan segala upaya terus berpura-pura menatap layar komputer, mengisikan sembarang angka ke dalam kotak kosong. Tentu saja semua kerjaannya sudah rampung setengah jam lalu. Ia ingin sekali berpura-pura tidak sengaja berbarengan turun dengannya. Sedikit saling menyapa di lift, lantas sedikit basa-basi sebelum berpisah menuju tempat makan "favorit" masing-masing.

Gadis itu semakin dekat, detak jantung si pemuda semakin kencang. Ia bersiap-siap hendak bangkit dari duduknya. Paling sial jika ia tak berani mengikutinya, mungkin ia bisa berpura-pura menuju toilet, bukankah letak searah dengan pintu lift? Yang penting ia bisa sekedar tersenyum menyapanya.
 " Ngga makan siang, Den?" ternyata gadis itu justru menegurnya sambil tersenyum.
Meluncurlah sepuluh kembang api besar di jantung si pemuda. Ini di luar rencananya, apa lagi dengan senyum itu. Ya Tuhan, gelagapan si pemuda hendak menjawab apa.
" Masih banyak kerjaan, kamu sendiri ngga makan?"
Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Sekedar menggeleng patah-patah ia tersenyum dengan muka kebas. " Semoga ia tidak melihat tampang gerogiku," keluh pemuda itu dalam hati.
" Malas ngga ada teman turun," Gadis itu tersenyum sambil mengangkat bahu.
Separuh jantungnya sontak berteriak, come on man, sekaranglah waktunya, ajak dia makan bersama. Bukankah ia " mengundang"-mu? Tetapi separuh jantungnya gemetar tak tahu harus bilang apa. Senyuman dan kerlingan gadis itu telah mematikan otaknya berpikir. Dan di tengah kegaguan justru ia berkata " Mungkin kamu bisa bareng, Sinta. Kayaknya dia juga belum makan!"

Ya ampun, apa yang telah aku lakukan? si pemuda menekuk lututnya. Perutnya tiba-tiba melilit menyesali kebodohannya. Dan gadis itu dengan amat anggun hilang dari pandangan.

*****

Hari ini jum`at esok dan lusa libur. Gadis itu sudah merencanakan untuk libur keluar kota, tapi undangan pernikahan anak directur membatalkan rencananya. Lagi pula bukankah itu berarti semua orang akan hadir di sana, an jika semua hadir itu berarti pemuda itu juga akan datang. Ia senyum-senyum sendiri. Otaknya terbungkus oleh harapan.

Setidak-tidaknya di sana ia bisa mencari berbagai alasan untuk duduk di dekatnya. Berbincang tentang apa saja. Dan jika beruntung mungkin saja bisa pulang ketempat pesta bersama-sama. Membayangkannya saja gadis itu sudah tidak bisa berkata-kata lagi.

Tetapi semenjak undangan itu dibagikan seminggu yang lalu, dalam sedikit kesempatan mereka bertemu di lift saat bekerja ( ia sengaja menunggu di lobby sampai pemuda itu tiba), saat makan siang dan saat pulang kerja ( Ia sengaja menunggu pemuda itu membereskan mejanya sebelum turun pulang)- pemuda itu sedikitpun tidak pernah menyinggung soal pesta pernikahan. Bagaimana menyinggungnya, jika selama ini mereka sekedar ber-hai apa kabar saja. Berkali-kali gadis itu membujuk jantungnya agar berani bertanya, "minggu depan kamu datang gak ke pesta pernikahan Vania?" Tapi ia selalu gagal.

Jum`at semakin senja. Kesempatannya untuk menjadikan mimpi-mimpi itu menjadi semakin nyata tipis. Ia harus melakukannya! jika tidak, maka musnahlah sama sekali harapan itu. Dan setelah bergulat habis-habisan meneguhkan diri, gadis itu beranjak mendekati pemuda itu. Gemetar kakinya melangkah, " Ya Tuhan, tolonglah..." seru hatinya lirih.

" Hai, Den. Kamu lagi sibuk?"
Ketara sekali kata-katanya bergetar saking gugupnya.
Gadis itu membujuk jantungnya segera tenang. Tersenyum amat kaku. Pemuda itu mengangkat kepalanya, balas tersenyum. Menghembuskan napasnya dalam-dalam.
" Iya nih. Kayaknya aku lembur malam ini!"
" Kamu hari minggu datang ke resepsi Vania ennga?"
Gadis itu berdiri sambil diam-diam menyilangkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Please, God.
" Belum tahu, Lihat besok. Kamu ngga kesana?"
" Belum ada tteman. Malas kalau snedirian."
Ya Tuhan, orang bodoh sekali pun tahu apa maksud hatinya. Tetapi pemuda itu hanya menatapnya lamat-lamat, kemudian sambil menggeleng, pelan berkata, " Si Sinta katanya harus mejenguk ibunya!"

Lumat sudah harapan gadis itu, dengan lemah ia berkata, " Iya, ibunya sakit, sepertinya aku harus berangkat sendirian."
" Dasar bodoh. Bodoh. Bodoh sekali!" umpat gadis itu dalam hati. Jika sidah begini apa yang harus dilakukannya?

" Hai, Dahlia. Kamu belum punya teman ke pernikahan Vania?" Pemuda yang lain yang dari tadi berdiri membereskan berkas di mejanya, di sebelah mereka, menyela pembicaraan. Gadis dan pemuda itu menoleh serempak ke muasal suara. Andre nama pemuda itu tersenyum jantan mendekati Dahlia,
" Aku juga belum punya barengan. Kamu mau bareng aku? Bagaimana? Nanti aku jemput kamu pagi-pagi ya!"
Gadis itu hendak mengankat bahunya, keberatan. Tetapi hatinya yang berkali-kali mengumpat, " Dasar bodoh, harusnya kau yang melakukan seperti Andre. Harusnya kau yang menyela dan berkata, ` ia tidak akan pergi bersamamu, ia akan pergi bersamaku." kesal sekali. Tanpa disadarinya ia justru menganggukan kepala. Andre tersenyum senang. Sambil memegang bahu gadis itu, ia berkata menggoda, " Oke sayang. Sampai ketemu hari minggu. Jangan lupa dandan yang cantik.!"
*****

Hari ini jum`at. Besok dan lusa libur. Sudah seminggu ini pemuda itu menanti-nanti kesempatan untuk bertemu lebih lama dengan gadis itu, sekedar untuk bilang" Hai, kamu mau bareng aku ke pernikahan Vania, gak?" ia butuh waktu kurang lebih lima menit untuk berbincang dan mengajaknya bersama.

Dengan hanya bertemu di lift saat berangkat kerja ( ia sengaja menunggu di lobby sampai gadis itu tiba), saat makan siang, dan saat pulang kerja ( ia sengaja menunggu gadis itu membereskan mejanya sebelum beranjak turun) itu sama sekali tidak cukup untuk membicarakan masalah ini. Apalagi mereka hanya saling ber-hai apa kabar, tersenyum kaku, lantas berdiam diri dalam dengungan suara lift yang bergerak.

Berkali-kali ia membujuk jantungnya untuk mendekati meja gadis itu. Bertanya langsung padanya, " Apakah kau mau pergi bersamaku?" tetapi berkali-kali pula ia gagal meneguhkan diri. Jum`at semakin senja, kesempatannya untuk menjadikan mimpi-mimpi itu kian menjadi nyata semakin tipis. Ia harus melakukannya. Jika tidak, ia akan menyesalinya seumur hidup. " lalkukan itu sekarang juga, Den," bisik itu semakin kencang.

Dan pemuda itu di ujung keputus-asaan akhirnya nekad juga memutuskan. Tetapi saat ia siap berdiri dari duduknya, gadis itu justru terlihat berdiri dari mejanya. Melangkah menujunya. " Ya Tuhan, semoga ia melewatiku. Please God." desak batinya kuat-kuat. " Jika ia melewatiku, aku berjanji akan menanyakan soal itu," janjinya untuk sekian kali.

Suara sepatu gadis itu terdengar semakin keras di telinganya. Ia semakin dekat, debar jantungnya makin kencang. Dengan meneguhkan diri pemuda itu bersiap untuk menyapa.
" Hai, Den. Kamu lagi sibuk?"
Gadis itu sambil tersenyum dan ternyata lebih dulu menyapanya. Pemuda itu kaku seketika. Kata-katanya hilang menyentuh udara. Berusaha tersenyum senormal mungkin. Menarik napas dalam-dalam.
" Iya nih. Kayaknya aku lembur malam ini!" Ya Tuhan, padahal kerjaan untuk seminggu pun sudah kurampungkan.
" Kamu hari minggu datang ke resepsi Vania, gak?"
Gadis itu tersenyum semakin manis. Pemuda itu duduk semakin kebas. Ayolah katakan! Ajak dia! Ayolah katakan! Tetapi separuh jantungnya gemetar ketakutan. Kau hanya akan mempermalukan diri sendiri, bodoh! Bagaimana kalau dia menolak?

" Belum tahu. Lihat besok. Kamu ngga kesana?"
Ya Tuhan, apa yang telah aku katakan? Pemuda itu mengumpat berkali-kali. Seharusnya langsung saja mengajaknya pergi bersama. Senyuman gadis ini membuatnya sedikitpun tidak bisa berpikir sehat lagi.

" Belum ada teman, malas kalau sendirian."
Ayolah katakan! Ajaklah dia! Bukankah dia telah memberi kode padamu. Sedikit lagi... tak terlalu susah. Pemuda itu mencengkram keras kursinya. Apa sulitnya mengatakan itu?! bentak separuh jantungnya. Dan tampa ia sadari, di tengah usahanya membujuk separuh jantungnya yang lain, ia menggeleng-gelengkan kepala. Ia teringat Sinta. Mungkin dengan menyela pembicaraan ini dengan kabar soal Sinta akan sedikit membantu. Maka tanpa menyadari akibatnya sedikit pun, pemuda itu justru berkata, " Si Sinta katanya harus menjenguk ibunya!"

Tidak. Ia sama sekali tidak bermaksud menolaknya. Tetapi gadis itu dengan tetap tersenyum berkata pelan, " Ya, katanya sakit, sepertinya aku harus berangkat sendirian."

Ya Tuhan, kerusakan apa lagi yang telah aku perbuat?

" Hai, Dahlia. Kamu belum punya teman pergi ke pernikahan Vania?"
Pemuda yang lain yang dari tadi berdiri membereskan berkas di mejanya, di sebelah mereka menyela pembicaraan. Gadis dan pemuda itu menoleh serempak ke muasal suara. Andre nama pemuda itu. Tersenyum jantan mendekati Dahlia. " Aku juga belum punya barengan. Kamu mau bareng aku? Bagaimana? Nanti aku jemput pagi-pagi ya!"

" Tolonglah. Jangan. Jangan katakan setuju!" Pemuda itu memohon dalam hatinya. " Jangan sampai kau pergi dengannya. ia playboy kelas kakap. Dan kau akan terperangkap." Tetapi gadis itu justru tersenyum menganggukan kepala.
Andre tersenyum senang. Sambil memegang bahu gadis itu ia berkata menggoda, " Oke, sayang. Sampai ketemu hari minggu. Jangan lupa dandan yang cantik!"
******


Tidak ada komentar:

Posting Komentar